Dilihat 0 kali
Fhoto : Istimewa |
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengusulkan bahwa iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan naik hingga dua kali lipat. Namun, kenaikan yang seharusnya sudah berlaku 1 September 2019 nyatanya masih harus melewati dua tahap lagi sebelum disahkan lewat Peraturan Presiden (Perpres).
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tentunya mendapatkan ragam tanggapan dari masyarakat alias ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Dikutip dari detik.com, sebanyak 63% dari 10 ribu lebih voters menjawab tidak setuju. Kebanyakan dari mereka beralasan merasa terbebani dengan penghasilan yang minim tapi harus dipotong gajinya lagi. Apalagi bagi kepala keluarga yang harus membayar 1 KK sekaligus.
Hal tersebut memang wajar, tapi sebelum beragumen lebih lanjut, simak fakta terkait mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai dari alasannya, siapa saja sasarannya hingga rincian kenaikannya yang akan Cermati.com ulas berikut ini dari berbagai sumber.
Defisit Jadi Alasan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Tak mungkin muncul asap kalau tidak adanya api, sama halnya dengan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini yang pastinya ada alasan yang kuat. Sri Mulyani bermaksud dengan iuran BPJS yang dinaikkan ini bisa menutupi defisit keuangan BPJS yang terus terjadi setiap tahunnya.
Pada 2014 Rp 1,9 triliun, kemudian naik pada 2015 jadi Rp 9,4 triliun. Pada 2016 mengalami penurunan menjadi Rp 6,4 triliun. Sayangnya harus kembali naik lagi di tahun 2017 menjadi Rp13,8 triliun. Naik lagi pada 2018 mencapai Rp19,4 triliun dan tahun ini berpotensi naik tajam menjadi Rp32,8 triliun.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah selesai melakukan audit sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pihaknya mengungkapkan ada beberapa penyebabnya dari permasalah terjadinya deficit pada BPJS Kesehatan, di antaranya:
1. Rumah Sakit Bersikap Curang
Setiap rumah sakit yang termasuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan sudah mendapatkan kategori rumah sakit yang telah ditentukan sejak awal, yaitu A, B, C, dan D. Dari keempat kategori tersebut punya biaya per unit pasien yang tak sama. Intinya, kategori A tertinggi dan kategori D terendah.
Belum lama ini BPKP menemukan tak sedikit rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan yang melakukan kecurangan dalam data kategori tersebut demi mendapatkan per unit pasien lebih besar dari penggantian BPJS Kesehatan. Misal, yang awalnya termasuk kategori B tapi saat pelaporan jadi A.
2. Perusahaan Juga Melakukan Kecurangan
Selain rumah sakit, nyatanya banyak perusahan juga yang melakukan tindakan kecurangan. Aturan sebenarnya, setiap perusahaan harus membayarkan iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya sebesar 4% dari 5% dari gaji pokok karyawan. Hal ini tentu membuat iuran BPJS Kesehatan yang ditanggung perusahaan akan besar.
Maka dari itu, agar iuran yang dibayarkan tetap kecil, perusahaan melakukan kecurangan saat membuat laporan ke BPJS Kesehatan. Banyak ragam kecurangan tersebut, antara lain ada yang melaporkan jumlah karyawan yang lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya dan ada pula perusahaan yang membuat laporan mengecilkan gaji karyawan.
3. Pelayanan Tak Sebanding dengan Peserta
Pada umumnya perusahaan jasa akan melengkapi pelayanan yang layak untuk menunjang sejumlah konsumen. Jadi, hal yang dilakukan perusahaan akan mengetahui total keseluruhan konsumen terlebih dahulu, kemudian barulah perusahaan tersebut mempertimbangkan berapa banyak pelayanan lagi yang harus ditambah.
Nah, ini berbanding terbalik dengan BPJS Kesehatan. Pihak BPJS memiliki palayanan yang banyak padahal total peserta hanya sedikit. Pada data terlihat jumlah peserta 223,3 juta orang, sedangkan pelayanannya sejumlah 233, 9 juta.
4. Data Tidak Sesuai
BPKP menemukan adanya data yang tidak sesuai karena orang yang melakukan perpindahan sistem Akses, Jamkesda dan Jamkesmas ke BPJS Kesehatan yang tidak tervalidasi dan terintergritas dengan baik. Jadi, ada nama peserta yang ganda atau yang seharusnya tidak masuk sistem tapi justru malah masuk.
5. Sistem Klaim yang Tak Benar
Meningkatnya defisit BPJS Kesehatan juga terjadi karena sistem klaim yang buruk mulai dari ada yang klaim peserta ganda, klaim dari peserta yang sudah meninggal, hingga peserta yang tidak aktif tapi klaimnya masih bisa dicairkan. Jika sistem ini tidak segera diperbaiki maka, bukan hal yang tak mungkin bila BPJS Kesehatan akan mengalami lonjakan defisit secara terus menerus.
6. Banyak Peserta yang Menunggak
BPKP juga mengungkapkan hingga saat ini banyak peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iurannya yang saat ini berjumlah 15 juta peserta. Kebnyakan dari mereka adalah peserta mandiri yang menderita penyakit berbiaya yang cukup besar. Setelah memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan dalam pengobatannya, mereka tak melanjutkan bayar iurannya per bulannya lagi.
Sasaran dan Rincian Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Untuk menutupi defisit tersebut, menaikan iuran BPJS Kesehatan menjadi upaya utama yang diusulkan Sri Mulyani. Kenaikan ini dipukul rata alias semua peserta BPJS Kesehatan menjadi sasarannya dengan kenaikan iuran yang mencapai 100%. Berikut rincian iuran terbaru yang akan diterapkan jika sudah disahkan perpres:
Kelas 1 dari Rp 80.000/bulan menjadi Rp160.000/bulan
Kelas 2 dari Rp5 9.000/bulan menjadi Rp110.0000/bulan
Kelas 3 dari Rp25.000/bulan menjadi Rp42.000/bulan
Taat dan Tertib Bayar Iuran BPJS Kesehatan
Defisit tentunya tidak akan terjadi, apabila setiap peserta atau perusahaan tidak melakukan kecurangan. Untuk itu bagi para peserta BPJS Kesehatan jangan hanya bisa memanfaatkan pelayanannya saja, tapi juga harus menjadi peserta yang taat membayar iuran BPJS Kesehatan setiap bulannya. Selain itu juga, setiap perusahaan juga harus tertib membayar iuran sesuai dengan aturannya.
(republika.co.id)
Post a Comment
Facebook Disqus